MAHALNYA CINTA SUCI

Ini adalah ungkapan kerisauan hati ketika seorang teman—sebut saja namanya Haboga—mengeluh sulitnya menikahi gadis yang dia cintai. Ketemu Haboga, saya bercakap-cakap sejenak mengobati rindu dua tahun tak bersua dengannya.

“Bagimana, Boga? So kawin ente?” tanya saya.

“May be yes, may be not,” tukasnya enteng.

“Ponikalo uti. Umur so tiga puluh. Batunangan so 10 tahun… Jangan-jangan ente ini mandul. So lama batunangan tida mo dapa anak…hahaha,” canda saya.

Haboga menampakkan rautnya yang sedih. Saya jadi tak enak hati.

“Sebetulnya…,” tuturnya, “…ana ini so suka mo kawin dari lima tahun lalu. Tapi sampe skarang ana bulum dapa kumpul uang Rp.100 juta. Ana pe maituwa (calon isteri—red) juga so jaga ba ancam, kalo ana tida kawin tahun ini, dia mo trima orang lain pe lamaran.” Saya mencoba menghiburnya.

Saya bilang, “Bo gartak sambal ente pe maituwa itu. Dia cuma mo kase lia pa ngana yang mana ente ini dia butuh skali.”

Haboga mengangguk. “Iyo, ana tau itu. Yang bekeng pusing pa ana, mo cari doyi Rp.100 juta sup…”

Dia menyandarkan diri ke dinding. Jemarinya mempermainkan batu-batu kecil yang tadi dipungutnya. Haboga lalu berkisah bagaimana kerasnya dia berusaha melobi orang tua Aisa—sang pacar (juga nama samaran, red)—supaya mendapatkan ‘keringanan’. Aisa sendiri senantiasa membantu usaha itu semaksimal mungkin.

Tapi selalu saja gagal. Orang tua Aisa selalu menjawab, “Kan kita so bilang, dia (Aisa) ini ada kase skola tinggi-tinggi sampe jadi sarjana di Jakarta. Masa ngana bo asal-asal ba minta… Pokonya kalau ngana tidak punya Rp.100 juta, tidak bisa…”.

Haboga adalah pemuda yang sepanjang pengetahuan saya merupakan seorang sarjana, baik hati, taat beragama, rajin, tapi sayang kerap tidak percaya diri. Aisa yang berpacaran dengannya dalam 10 tahun terakhir juga seorang sarjana yang sekarang menjadi guru di Gorontalo. Cinta mereka, dalam pandangan saya, adalah cinta yang suci. Cinta yang berlandaskan pada fitrah kemanusiaan tanpa melanggar satu kali pun perintah dan larangan agama.

Nasib si Haboga itu memantik berbagai pertanyaan di kepala saya. Pertama, apa iya menikah harus mahal? Bukankah mahalnya biaya menikah justru mempersulit pernikahan itu dan kemudian mempersulit hidup pasca upacara pernikahan? Bukankah ada kata-kata nabi berbunyi “Menikah itu mudah, hanya manusia yang mempersulitkannya”? Jadi, kenapa harus Rp. 100 juta?

Di beberapa daerah lain, seperti Jawa Barat, Jakarta, Jawa Timur, biaya pernikahan tidak semahal ini, padahal standar harga seluruh barang kebutuhan di sana jauh lebih tinggi daripada di Gorontalo. Artinya, mestinya biaya upacara pernikahan—terutama biaya konsumsi—di sana lebih tinggi daripada di sini. Tapi mengapa orang di Jawa Barat dapat menikah secara baik-baik, memenuhi standar adat di sana, memenuhi norma-norma Islam dan memenuhi norma-norma sosial di sana walaupun hanya menghabiskan Rp. 5-10 juta?

Apa yang salah dengan orang Gorontalo dalam konteks ini? Kalau nasib seperti ini tidak hanya dialami oleh Haboga seorang, maka pertanyaannya adalah; ada masalah apa dengan masyarakat Gorontalo? Menikah kok mahal-mahal amat….

Manakala pertanyaan-pertanyaan itu saya ajukan kepada seorang kerabat saya, dia menjawab, “Kalo tidak punya uang minimal Rp.50 juta, lebe bae “stor duluan” jo… Mo kawin ‘bae-bae’ skarang susah… Apalagi kalo yang dilamar itu perempuan sarjana.”

Ampuuun ya Allah….

Kasihan te Haboga, cuma karena mencintai seorang sarjana, dia tidak mampu menyempurnakan kesucian cintanya. Kasihan ti Aisa, sudah sekolah tinggi-tinggi, jadi sarjana, tapi tidak bisa bahagia.

Mudah-mudahan para sosiolog, pemangku adat serta para agamawan mampu dan mau menjelaskan masalah ini. Mudah-mudahan mereka juga mampu membuat pencerahan agar problem seperti ini tidak terjadi lagi.

Start typing and press Enter to search