BERKACA SEBELUM BIKIN BERITA

Seorang wartawan bertanya kepadaku, apakah boleh menulis berita tentang perselingkuhan seorang pejabat.

Via WA, sy bilang ke dia, “Setiap manusia ada aibnya. Ada yg Allah buka aibnya, ada yg Allah sembunyikan aibnya. Ente buka aib orang, orang lain akan buka aibmu.”

Kawan2, Saya wartawan. Sejak awal sy menulis berita ttg kebaikan dan keburukan/kekurangan pemerintahan. Supaya mereka perbaiki kekurangan itu utk kepentingan rakyat yg telah membayar gaji mereka–dengan bayar pajak + retribusi.

Kalau pun ada pejabat yg melakukan maksiat, misalnya, dulu kami tidak mempermalukan pribadinya, tapi kami menuliskannya dalam bentuk satir dan eufimisme, tidak hiperbolik maupun sarkasme.

Sebab kami tahu, setiap diri seseorang punya kebaikan dan keburukan. Kapan2, entah kapan, diri kami pasti akan butuh kebaikan2 dari dirinya, sehingga kami tidak menghujat keburukannya.

Bukankah wartawan menyesuaikan diri dengan selera para netizen skrg ini? Kata sy, tidak. Wartawan mestinya membentuk selera publik (shaping the society), bukan shaped by the society. Yang ikut2 selera publik itu disebut infotainment, bukan media, apalagi pers.🙏

Start typing and press Enter to search