NASIONALISME dan SILATURRAHIM
Ketika tiba di USA, 2007, untuk sebentar belajar di sana, ada opini tentang masyarakat Amerika dalam kognisi saya, yaitu bahwa orang Amrik itu individualis, beda dengan orang Indonesia yang lebih sosialis.
Namun pikiran itu berubah di saat saya menonton pertunjukan Rodeo of Ozark. Rodeo adalah pertunjukan kemampuan manusia menaklukkan banteng yang beringas, kuda liar, dll. Sebuah performens yang ditunggu oleh para orang tua di sana untuk mengajak anak-anaknya nonton secara langsung.
Sebelum pertunjukan dimulai, seluruh hadirin diminta berdiri untuk menyanyikan Star Spangled Banner, lagu kebangsaan USA. Bernyanyilah semua orang sambil meletakkan kepalan tangan kanan di dada kiri.
Sang MC lalu memanggil dua tentara mereka, veteran Perang Afghanistan, yang telah kehilangan salah satu pancaindra, untuk maju ke tengah lapangan.
“Ladies and gentlemen…! Hadir di antara kita para pahlawan pembela USA. Mereka telah berkorban untuk kita semua. Berperang di Afghanistan, memberantas teroris… Kehilangan beberapa organ tubuhnya demi kita, demi anak-anak kita, demi cucu kita…. Serentak kita berikan penghormatan kepada mereka….. !” pandu sang MC.
Mendadak semua orang memberi hormat, sekitar dua menit, sebagian hadirin matanya berkaca-kaca. Kakek-nenek, ibu-bapak, pemuda-pemudi, remaja, anak-anak berdiri takjim, memberi hormat dengan sehormat-hormatnya. Kedua prajurit itu membalas hormat ke empat penjuru mata angin.
Begitulah rasa nasionalisme di sana ditanamkan sejak kecil, di hampir semua pertunjukan maupun pertandingan yang dilakukan di stadion. Bahkan sering pula di event-event tingkat RT pun lagu kebangsaan mereka menjadi pembuka seremoni.
*****
Juga sebelum pertunjukan dimulai, sang MC menyuruh seluruh hadirin untuk menyalami orang yang ada di kiri-kanan masing-masing. Bersalamanlah semua orang. Suara MC kemudian berkumandang lagi.
“Jika Anda sudah menyalaminya, tepuklah bahunya, tanya siapa namanya, berkenalanlah, tukarkan kartu nama Anda… Entah siapa tahu Anda akan membutuhkannya suatu saat. Bertemanlah dengan sebanyak mungkin orang…. Di sini ada banyak orang, bertemanlah dengan mereka…. Dan jangan lupa senyum. Senyummu membahagiakan orang lain….”
Setiap orang melakukan “sambung-rasa” itu, tak terkecuali saya. Dan benar saja, hingga kini saya masih berkawan dengan beberapa orang yang kenalan di tempat itu, korespondensi. Dan itu rasanya asyik…. Minimal saya punya kawan jauh di sana yang terus mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya dengan iringan doanya. Keren kan?
Warga Amerika yang tadinya saya anggap individualis itu ternyata justru lebih sosialis dibanding diri saya sendiri. Mereka lebih mudah bersilaturrahim, lebih ringan hati dalam bergaul, bahkan saling membantu satu sama lain.
*****
Ini saya ceritakan bukan untuk mengagungkan USA. Bukan. Sungguh ini soal kehidupan bermasyarakat, bukan tentang kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh pemerintah mereka yang sering tidak menguntungkan Indonesia.
Saya bersyukur dilahirkan di Ayula, dibesarkan di Sipatana dan Telaga, mewarisi nilai-nilai baik dalam masyarakat Gorontalo yang sangat nasionalis dan menaati ketentuan-ketentuan agama. Saya bersyukur pernah berkali-kali ikut dalam kerja bakti yang membuat semua orang bahagia karena sama-sama berkorban untuk kebaikan bersama sambil menjaga SILATURRAHIM.


