WARUNG KOPI ==> MEDSOS
Di abad ke-13 bermunculan banyak sekali warung kopi di Eropa. Warung kopi adalah ‘public sphere’ saat itu dimana siapa saja boleh ngomong apa saja. Dari hal yg bermutu tinggi sampai kualitas rendahan. Dari soal pribadi sampai masalah negara. Siapa pun boleh ngomong apa pun.
Di warung kopi, semua sama rata, Laki, perempuan, pejabat, rakyat biasa, semuanya setara tidak ada yg boleh merasa lebih baik daripada yg lain. Namanya juga public sphere, dalam terjemahan yg paling mendekati; ruang publik.
Biasanya warkop didominasi kalangan pria yang sebagian di antaranya ingin belajar, sebagian lagi ingin menunjukkan kepintarannya.
Perkembangan teknologi memunculkan adanya media yang menyediakan judul² untuk dibahas di warkop, ibarat menu yg disajikan untuk disantap dengan lahap.
Media kemudian berubah² fungsi; corong pemerintah, corong rakyat, penyeimbang, pembentuk opini, dll, yg semua itu mempertimbangkan kepentingan [si pemilik] media itu sendiri.
Ratusan tahun kemudian, di jaman kita ini, muncullah media sosial dalam berbagai platform, termasuk Facebook, Instagram, Youtube, Tiktok, dll. Fungsi media lama (koran, TV, radio) tergerus. Perannya terambil-alih oleh medsos.
Secara garis besar, medsos menjadi ‘warkop raksasa’. Siapa saja boleh berpendapat apa saja. Sebagian netizen adalah mereka yang belajar, sebagian lagi ingin memamerkan kepintarannya. Bedanya dengan warkop, di medsos tak ada kopi yang bisa diseruput sambil memberi komentar. (Cat: orang² tertentu bermedsos ditemani secangkir kopi)
Dari jaman warkop 700 tahun lalu di Eropa sampai jaman sekarang di tempat yg sama, ada satu pelajaran penting:
JIKA MENYADARI KEBODOHAN DIRI MAKA AKAN SEMAKIN PINTAR, JIKA MEMAMERKAN KECERDASAN MAKA YANG TAMPAK DARIMU ADALAH KEBODOHAN.
Itu di Eropa. Tidak sama dengan di sini.


