Menuju Pemilihan yang Berintegritas

Black campign (kampanye hitam), dalam definisi di bangku kuliah saya, adalah kampanye yang berupa fitnah terhadap pesaing politik. Biasanya tidak relevan dengan tugas kenegaraan resmi.

Ada juga yang disebut dengan kampanye negatif, yaitu kampanye yang menyediakan fakta-fakta negatif terhadap pesaing politik. Secara etis, yang berhak berkampanye negatif adalah orang yang tahu persis tentang fakta-fakta itu (bersaksi atau menyaksikan), bukan berdasarkan analisis sendiri.

Di Indonesia, menurut dosen saya Efendi Gazali, yang paling cocok adalah comparison campaign (kampanye perbandingan). Yang dibandingkan bukan soal ganteng atau tidak (dimana selera setiap orang berbeda tentang itu), melainkan visi-misi, performa di depan publik, dan tentu saja track-record. Perbandingannya mesti “apple to apple”. Misalnya, tidak dapat dibandingkan antara kinerja seorang pengelola uang negara (uang milik rakyat) dengan seorang yang menggunakan uangnya sendiri (yang tentunya sangat sedikit). Yang bisa dibandingkan misalnya ; umur dengan umur, nilai matematika dengan nilai matematika, dan hal-hal lain yang terukur (cenderung kuantitatif, bukan kualitatif).

Dalam praktek politik di negara-negara demokrasi pemilihan (cocok gak ya itu dipakai untuk menggantikan ‘electoral democracy’?), ada juga yang melakukan “pura-pura black campaign” dan “pura-pura negative campaign”. Caranya yaitu dengan melemparkan fitnah kepada kandidatnya sendiri lalu berkampanye bahwa “kami/kandidat kami sudah/sedang difitnah”.

Di negara-negara yang lebih canggih dalam pemilihan, ada juga teknik mengangkat kandidat pesaing terlalu tinggi supaya dibenci publik. Misalnya dengan mengeluarkan headline di media dgn judul “Kepemimpinan Elnino seperti Kepemimpinan Para Nabi”. Orang muak sama Elnino dibuatnya.

Semua yang saya tulis di atas berkaitan dengan pencitraan. Target pencitraan ada dua; akal dan hati. Lebih banyak diarahkan pada hati. Ya, mirip orang yang sedang mencoba memacari seseorang, yang disasar untuk mendapatkan simpati adalah hatinya.

Dalam Pilpres 2024 nanti marilah kita melihat dengan jeli dan tajam, yang mana pencitraan yang benar, dan yang mana pencitraan yang tidak benar.

Semoga bangsa ini mendapatkan pemimpin yang citranya terbangun dari kebenaran, bukan sebaliknya. Aamiin…

Start typing and press Enter to search