Sebuah Autobiografi Menembus Batas

Beberapa tahun yang lalu, saya mulai mengumpulkan kembali tulisan-tulisan lama yang saya miliki. Sebagian dari tulisan-tulisan tersebut saya kontekstualisasikan kembali dan unggah ke website pribadi saya, elninomohi.id, agar dapat diakses oleh berbagai kalangan. Sementara itu, sisanya saya tata ulang untuk keperluan yang berbeda.

Ketika saya mengumpulkan tulisan-tulisan tersebut, saya menemukan sebuah buku yang saya tulis ketika masih menjadi anggota DPD-RI. Buku tersebut adalah sebuah autobiografi yang saya tulis dengan tujuan membagikan momen-momen hebat dalam hidup saya dalam bentuk cerita. Beberapa momen yang sangat berkesan bagi saya terdapat di dalam buku tersebut. Namun, setelah membacanya kembali, saya merasa ada beberapa hal yang perlu diperbaiki.

Sudah hampir 15 tahun berlalu sejak saya pertama kali mencalonkan diri sebagai anggota DPD-RI. Saat itu, usia saya 35 tahun, saya seorang magister ilmu komunikasi dari Universitas Indonesia, menikah sejak tahun 2002, dan pada dasarnya saya berada dalam usia yang tidak terlalu sabar dalam menghadapi kehidupan. Meskipun harus bersaing dengan nama-nama besar yang mapan secara ekonomi, beberapa teman menyarankan saya untuk mencalonkan diri. Setelah berdiskusi dengan istri saya, saya memasuki arena pertarungan politik. Saya berbicara dengan sebanyak mungkin orang yang bersedia mendengarkan. Saya pergi ke pelosok-pelosok, bukan untuk berkampanye, tetapi untuk membicarakan nilai-nilai kepemimpinan Gorontalo di masa lalu. Sejak saat itu, gerakan semacam itu tampaknya tak bisa berhenti, dan hingga kini, setelah dua periode di DPR, saya terus melakukan pembasisan seperti yang saya lakukan sejak awal. Tidak ada yang berubah.

Beberapa orang dekat bertanya mengapa saya memasuki dunia politik yang penuh dengan siasat dan taktik licik. Saya hanya tersenyum. Pertanyaan semacam itu telah menjadi akrab bagi saya, karena itu menandakan sinisme, ketidakpercayaan, dan pengkhianatan. Satu-satunya jawaban yang dapat saya berikan bukanlah dengan kata-kata belaka, melainkan dengan tindakan nyata. Saya mengusung politik silaturrahim untuk merehabilitasi kembali makna politik yang telah rusak di benak mayoritas masyarakat kita. Tentu saja, perjuangan tersebut tidaklah mudah.

Ketika saya memutuskan untuk maju ke DPR, saya tidak membawa hasrat atau ambisi apapun selain menyebarkan politik silaturrahim. Saya lahir sebagai politisi yang tunduk pada pandangan hidup orang Gorontalo, bukan sebagai politikus yang berusaha memuaskan keinginan semua orang. Tentu saja, politisi seperti saya memiliki banyak kekurangan, karena saya menawarkan sesuatu yang sederhana: refleksi-refleksi pribadi mengenai nilai dan cita-cita Gorontalo yang telah membimbing saya hingga saat ini.

Usia yang terus bertambah memberikan sudut pandang baru bagi saya. Saya memutuskan untuk menuliskan sebagian dari kehidupan saya, meskipun dengan risiko melupakan momen-momen yang sudah tidak saya ingat lagi. Hal ini merupakan keputusan yang membantu saya untuk kembali memahami diri sendiri dan orang-orang di sekitar saya. Namun, satu-satunya kendala dalam menulis saat ini adalah waktu.

Kadang-kadang, saya merasa canggung saat memulainya. Namun, insting wartawan dalam diri saya selalu mampu menciptakan ruang bagi saya. Saya hanya perlu mengikutinya. Insting tersebut adalah kemewahan satu-satunya yang sangat saya andalkan.

Memperbaiki sebuah buku tidaklah sulit, tetapi juga tidak mudah. Suatu pagi, saat saya sedang dalam perjalanan reses, kami melewati “tangga dua ribu”, dan suasana pagi itu begitu menginspirasi. Saya mulai merenungkan kembali sebuah autobiografi yang lebih mendalam, yang dapat berbicara dan memudahkan pembaca untuk mengenal saya secara lebih utuh, serta dapat dibaca secara independen maupun dalam kaitannya dengan teks lain.

Meskipun jadwal saya padat, ketika tiba saat-saat untuk bersantai, saya memilih untuk mengenang kembali semua tahapan hidup saya. Saya menyaksikan anak-anak tumbuh dan dengan cepat mereka sudah dewasa. Saya lebih menghargai istri saya dengan cara yang tepat, dan yang paling sulit adalah mengatasi rasa rindu terhadap kedua orangtua saya. Nilai dan cita-cita hidup yang ditanamkan oleh mereka telah membawa banyak keajaiban dalam hidup saya.

Di usia ini, saya tidak lagi memikirkan “gaya” penulisan. Hal-hal teknis seperti itu sudah saya lalui ketika saya masih aktif sebagai seorang wartawan. Yang saya pikirkan sekarang adalah bagaimana autobiografi ini dapat mencapai dan menyentuh orang-orang di luar sana. Kita perlu menyadari bahwa kata-kata yang diungkapkan dengan gaya tinggi tidak selalu dapat menyentuh hati orang lain.

Tentu saja, karena orang lain tidak melihat dunia dengan cara yang sama seperti kita, kadang-kadang kita harus menyesuaikan diri dengan kenyataan tersebut.

Bagi yang tertarik dan belum punya bukunya dapat diunduh di https://bit.ly/bukuElnino

Start typing and press Enter to search