KUKKU DIDI YANG TRAGIS
Suatu hari minggu, 1982, kira2 jam 10 pagi, suasana mendung, lalu hujan deras di wilayah Tapa dan Sipatana. Aku yg kelas 2 SD diajak para senior utk keliling mandi hujan. Di antara mereka ada yg sudah SMP ada juga yg SMA. Salah satunya ti ka Rahi, adik li Kaita Nyonyo, tetangga sy.
Dalam sekejap kami menyepakati rencana “tour in the rain” yaitu start dari perempatan Barito Tanggikiki ke arah Barat, belok kanan melewati terusan Bengawan Solo ke arah Rumah Adat Gobel, lanjut muter sekali-dua di lapangan IPPOT Tapa, lalu balik ke arah Barito melalui jalan Irigasi (terusan tanggidaa).
Langsung aksi. Semuanya sangat bersemangat, sebab hujan deras yg indah itu teramat sangat pas sekali. . Apalagi hari ini kami semua belum mandi pagi. (Dulu, tanggal merah pertanda libur mandi pagi
).
Saking semangatnya, sy yg belum disunat meluncur ke jalan hanya pakai celana dalam. Eh, ti ka Rahi yg sudah SMA juga ikut2an hanya pakai cawat. . Yg lain pakai celana pendek.
Mulailah kami yg berjumlah belasan orang berlari2 kecil di jalan Barito menuju Bengawan Solo. Lalu menikmati jalan ke arah Rumah Adat Gobel. Sejauh ini, kami benar2 menikmati hujan sesuai rencana. Diembel2i serunya canda sepanjang jalan.
Ketika mau sampai di Lapangan IPPOT, hujan mendadak berhenti… .
Iya.
Mendadak.
Dan langit seakan2 cerah tiba2.
Sepertinya awan yg bermuatkan air hujan sudah lewat… Lewat begitu saja.
Padahal tubuh kami masih basah…
Di sela2 kebingungan yg memaksa dan keprihatinan yg sangat dalam , kami mulai menyusuri jalan pulang. Badan masih basah, telanjang dada, dan hanya pakai celana dalam… Tapi skrg tak ada hujan
Sy sih tak apa… masih kecil, belum disunat…. Tapi ti ka Rahi…..
Ketika hujan deras tadi, pandangan dari rumah ke jalan kan agak kabur, dan orang juga sibuk di dalam rumah. Tapi setelah hujan berlalu, orang2 ada di depan rumah, melihat dgn jelas “pemandangan aneh” ini.
Ada orang tua yg sedikit meledek kami, “Kalau mo suka hujan ulang, langsung jo sambayang minta hujan ngoni uti. Batalanjang bagitu tdk apa. Sapa tau Tuhan trima ngoni pe doa…”
Akhirnya, karena tetap punya rasa malu, kami memilih lewat sawah2 di Desa Huntu. Yah… menderita juga karena pematang sawah pasca hujan selalu licin. Dan kami pun sampai di rumah masing2 penuh lumpur. So pece ini pak… pece…
Di rumah, mama sy bertanya dari mana sy. “Abis mandi di hujan,” sekenanya jawab sy. “Abis mandi tapi punung deng pece bagini….?” komen mama sambil sedikit cekikikan.
Saat itu sy menangis mendengar mama sy tertawa. Biasanya dia hanya tersenyum. Dia tertawa hanya kalau dia rasa ada yg luar biasa lucu.
Sy menangis karena mama tidak tahu aku sedang kecewa luar biasa mengingat jatuh bangun di pematang sawah.
Saat itu dalam hati sy menjerit, “Ya Tuhan…. Kiapa itu hujan berenti di lapangan Tapa ya Tuhan….. Kiapa tidak kase lanjut jo sampe torang pulang ka rumah ya Tuhan….”