SAYA WARTAWAN, BUKAN JURU TULIS

Tahun 2000 seorang elit Gorontalo berkata ke saya, “Jadi begini, Elnino… Ngana tulis bahwa…” Sebelum dia lanjutkan kalimatnya kupotong, “Tulis sandiri jo.”

Teman² wartawan di Gorontalo yang baik,

Ketika itu saya masih muda, kurang mampu mengendalikan emosi. Gaji wartawan sangat minim, jadi wartawan hanya karena suka dan cinta terhadap profesi ini (Cat; kans jadi PNS sangat besar jaman itu).

Kendati begitu, saya sering marah ketika ada orang yang memandang rendah kepada wartawan. Saya tidak merasa sebagai juru tulis siapa pun, apalagi karena diimingi uang. Harga diriku, profesiku, tidak serendah itu.

Saya ini wartawan, saya bukan juru tulis. Pernah saya menulis berita tanpa ada kutipan, yaitu tentang keadaan kota dan tata kota. Itu hanya perlu deskripsi atau laporan pandangan mata. Ndak pula perlu mengarang nama Narsum untuk dikutip.

Di saat sekarang ini, persaingan media sangat ketat. Wartawan bukan hanya bersaing dengan wartawan lain, tapi juga dengan seluruh rakyat yang punya akun medsos. Jangan sampai seorang wartawan kalah cepat, kalah tajam, kalah kepercayaan, dan kalah pamor dengan mereka yang bukan wartawan.

Di era sekarang ini, butuh kreatifitas dan ketajaman argumentasi dalam memberitakan suatu hal, dan seorang wartawan keren pasti punya kreatifitas dan ketajaman itu.

Teman² wartawan Gorontalo yang baik,

Saya pagi ini menelpon wartawan dan memberi challenge kepadanya. Ini challenge-nya: carikan 10 wartawan yang bisa menulis tentang Gorontalo, sunting tulisan² itu lalu bukukan. Saya menyumbang untuk biaya pencetakan seribu buku.

Btw, di mata saya, ada dua ukuran seorang wartawan jago : dia meliput perang atau dia bikin buku. Scripta manent verba volent, kawan²….

Semoga kawan wartawan Gorontalo mudah menyambut challenge ini. Aamiin🙏

Keterangan foto: Ini foto² yang diingat kawan²ku wartawan di jamannya. Mantan dilarang komen. 😁

Start typing and press Enter to search