ELNINO ORANG SULTRA

Sewaktu saya wartawan di lapangan, saya hanya dikenal dengan nama tunggal ELNINO.

Zaman itu banyak mahasiswa asal Sulawesi Tenggara yang ada di Gorontalo. Banyak pula di antara mereka yg jadi pentolan aktifis.

Beberapa unjuk rasa yg menolak kekeliruan kebijakan pemerintah berakhir rusuh. Sehingga ada kalimat di antara elit Gorontalo waktu itu bahwa “bukan orang Gorontalo yang bekeng kacau Gorontalo, tapi orang Manado, orang Palu, orang Makassar deng ini mahasiswa dari Kendari deng Maluku.”

Mereka lupa, pimpinan² aktifis mahasiswa saat itu justru banyak yg orang Gorontalo. Tapi karena ada orang yg tidak mau fair, maka dia menyalahkan kerasnya unjuk rasa itu kepada ‘pendatang’.

Suatu kali, seorang elit yg orang Gorontalo tapi tidak bisa berbahasa Gorontalo berkata kepada saya secara langsung, “Co Nino bilang kasana pa ngana pe sudara² jangan bakacau di Gorontalo. Torang di Gorontalo ini aman damai. Nanti so ada pendatang macam ngoni ini bo so jadi kacau.”

Saya bingung. Saya tanya, “Te abang pe maksud saya ini datang dari mana so?”. Dia bertanya balik, “Ente pe nama bukan nama Kendari? El Nino, El Ode, El Ahmad. Ngoni pe nama kan bagitu?”

Agak palato juga saya. Kujawab, “Wanu bo yi’o, donggo wa’u ta lebe hulondtalo. Hemo hulondtalo juw. Yi’o daa diila. Hahaha.”

Kaget juga dia. “Hebat ente ini. Bisa bahasa Gorontalo. Berapa lama balajar?”

“Orang Gorontalo ana, Bang. Pam Mohi. Elnino Mohi. Ana pe papa dari Bonepantai, pindah ka Talaga. Ana pe mama orang Tapa,” kataku.

“Oh sorry, sorry. Soalnya ngana pe nama sama deng orang Kendari.”

“Sama loooo. Ana pe nama el-ni-no. Kendari pe nama pake LA di depan; La Ode, La Hamim, La Sultan. Pe jaoooooh…”

Dengan enteng dia bergumam, “Oh iyo.. LA… Bukan EL.. Sorry, No.”

====

Banyak sekali sahabatku orang Gorontalo asal Sulawesi Tenggara. Begitu banyaknya sampai-sampai saya merasa sudah jadi orang Sultra. 😃😃. Kulit sama. Rambut sama. Manis sama lah. Nama saya saja yg tidak cocok walaupun dikasih awalan LA.

Saudara-saudara ini sudah membaur, menyatu, berpadu, mayilo tombowata bersama rakyat Gorontalo. Mereka sudah menjadi rakyat Gorontalo.

Sebagaimana orang Gorontalo diterima di daerah lain untuk menjadi walikota dan menduduki berbagai jabatan, seperti itu pula kita menerima orang dari mana pun untuk menjadi pejabat maupun orang kaya di Gorontalo. (Note: Sejatinya, Gorontalo tidak mengenal “putra daerah” karena dulunya nenek moyang kita juga pendatang di tanah ini.)

Karena kerja keras, kerja cerdas, dan anugerah dari Allah, para sahabat saya itu mendapatkan kepercayaan besar di Gorontalo.

Ada senior Ustadz Laode Haimudin pernah jadi wakil bupati Boalemo (sekarang beliau anggota DPRD), La Aba Ketua KPU Kota, Dr. Jaharuddin Ketua Bawaslu Provinsi, dan banyak lagi nama sebagai dosen keren di berbagai kampus dan berbagai instansi.

Jangan lupa hal ini…

Aktifis yang memperjuangkan secara konkrit pembentukan provinsi Gorontalo banyak juga yang berasal dari luar Gorontalo. Orang Kendari (La Saofu dkk), Ujungpandang (Bachtiar dkk), Buol (Sabri Batalipu dkk), Bolmong (Arter Datunsolang dkk), Ternate (Thamrin Gani dkk), dan masih banyak lagi.

Pada saat perjuangan itu sampai di DPR RI, ada satu anggota DPR RI yang paling rajin membela dan mengadvokasi Gorontalo sehingga diterima bulat oleh seluruh fraksi DPR RI untuk jadi Provinsi walaupun pada hakikatnya Gorontalo belum memenuhi beberapa syarat pemekaran. (Note: Calon provinsi Banten, Babel, Kepri tidak diterima bulat seperti Gorontalo).

Nama anggota DPR RI itu adalah; Laode Djeni Hasmar. Orang Kendari. Saya sudah berjumpa dengan beliau dan sampaikan terimakasih kepada beliau, atas nama orang Gorontalo.

Start typing and press Enter to search