Sewaktu Aku disunat

Aku santai aja saat duduk di pu’ade (kursi kehormatan). Masih bisa tersenyum saat berfoto. Lima menit lagi “eksekusi”, aku masih santai2 saja. Kata orang2, disunat itu sakit. Aku tdk percaya. Sebab papa bilang, disunat itu seperti digigit semut.

Adikku si Rahmad Katon Mohi minta dieksekusi yg pertama. Aku bilang, oke. Lalu masuklah dia ke kamar penyunatan. Aku menunggu giliran di pu’ade. Cepat sekali Ti Kamani Salimu memainkan dunito (sembilu). Hanya sekitar 3 menit Katon selesai sudah disunat.
Tapi dasar Katon. Setelah proses yg mudah itu dia teriak2 di dalam kamar utk menakut2i sy yg ada di luar. “Aduh papa aduh papa aduh papa… sakiiiiiiii…!!!!” Sambil pura2 menangis meraung-raung.

Aku yg tadinya tdk takut disunat jadi berkeringat dingin. Ketakutan. Gemetar. Gentar!!

Tiba sudah giliranku.

Belum sampai duduk di hupato (batang pisang yg sdh dibentuk utk tempat duduk anak yg disunat), air mataku sdh mengalir. Ketakutan betul aku.

Kamani Salimu sudah siap dgn segala peralatannya yg tersembunyi di balik bajunya. Hanya benang yg kulihat terjepit di antara bibirnya. Ti Aba Tenga yg berbadan besar menjadi “tempat” sandaranku sekaligus jadi petugas yg memegangi aku agar jgn byk bergerak. Aku masih gemetaran.

Ketika Kamani Salimu berucap “Bismillaah” sontak aku berteriak, “Aaaaaaaah…..!!!! Sakiiiiiii. !!!”
Ti Aba Tengah menepuk pundakku…. “Woi…. belum mulai. !!!”

Dan semua tertawa terbahak2… Hanya aku yg masih menangis…

Start typing and press Enter to search