Tumbilotohe
Pada permulaannya, lampu yg dipasang di hari2 Tumbilotohe adlh morongo (obor) dan lampu Tohetutu atau Padamala. Minyaknya adlh Minyak Kelapa Dalam yg sangat matang posesnya. Penampung minyak bahan bakar Padamala adalah belahan buah pepaya muda atau belahan buah kelapa. Sumbunya terbuat dari kapas atau sobekan kain bekas.
Kira2 di tahun 1960-an mulai ada yg mengganti batok kelapa / belahan pepaya dgn penampung yg lebih praktis; bungkus-sabun bekas yg terbuat dari plastik. Bentuknya mirip ember mini.
Sampai 1970-an, bahan bakar minyak kelapa itu masih banyak bertahan. Catatan; nyaris tak ada asap, sgt hemat (sesendok cukup utk hampir semalaman).
Perkembangan kemudian, penampung plastik diganti dgn kaleng bekas cat, bekas Ikan Kaleng (Sardines), dll, hingga akhirnya tergantikan oleh botol kaca bekas minuman ringan. Dan ketika Indonesia swasembada minyak tanah, akhirnya bahan bakar pun berubah, sebab minyak tanah sangat murah di tahun 1980-an, sekitar Rp. 50 / liter.
Lampu listrik yg di jaman now ini dinyalakan di masa Tumbilotohe, sebetulnya baru dimulai pada akhir era 1990-an, itu pun sekadar sbg lampu hias belaka, bukan sbg lampu Tumbilotohe.
Jika skrg byk org yg pakai lampu listrik dgn maksud sebagai lampu Tumbilotohe, nah…itu yg sy tdk bisa komentari. 😁. Lembaga adat atau pemangku adatlah yg berwenang berbicara soal itu.

Hakikat Tumbilotohe
Jumlah lampu yg dipasang di tiap rumah adalah sama dengan jumlah nyawa manusia yg ada di rumah itu. Petugas zakat (amil) sudah tahu berapa orang yg wajib zakat fitrah di suatu rumah hanya dengan menghitung lampu yg terpasang di rumah itu.
Terkadang kuburan pun dipasangi lampu di masa Tumbilotohe sbg penanda bahwa ada ruh yg sedang beristirahat di situ. Sekaligus lampu2 itu adlh penerang jalan bagi mereka yg ke masjid di akhir2 puasa.
Tumbilotohe adalah simbol dua hal; lailatul qadar yg dahsyat itu kemungkinan besar ada di malam tsb, dan bulan puasa yg suci sedang berakhir.
Jika ada yg bergembira ketika masuk Tumbilotohe, itu adalah mereka yg meyakini bahwa puasanya sangat baik sebulan itu secara lahir dan batin. Mereka juga bergembira karena meyakini akan/telah bertemu lailatul qadar.
Jika ada yg bersedih saat Tumbilotohe tiba, itu karena dia takut tahun depan tak berjumpa bulan puasa lagi, kehilangan kesempatan bertemu lailatul qadar berikutnya.
Di Gorontalo, takbir menjelang Idul Fitri disebut dengan “mohiyonga hulalo” (menangisi kepergian bulan puasa). Menangis karena terharu atas keberhasilannya secara lahir dan batin selama sebulan terakhir. Menangis karena berdoa agar dipanjangkan umur setahun lagi.
Mohon teman2 mengoreksi dan menambahkan penjelasan lainnya tentang Tumbilotohe. Odu’olo. Wallaahu’alam bi-SHawaab…