SEMANGAT ITU AKAN ABADI

Seringkali saya terprovokasi oleh Om Hengki. Mulai 2004 saya bersua intens dengan orang yang, menurut saya, tua-tua inspiring.

“Apalah ngana ini… wartawan… sekolah lagi lah… Pinter-pinter kayak ngana ini kalau tak sampai kuliah di luar negeri, kasihan… 75 persen otakmu tidak akan berfungsi!” cecarnya suatu kali.

Lalu dia bilang lagi, “Kalau ngana apply beasiswa, saya kok yakin ya ngana bisa menang.”
Saya menerima tantangan OH; cari beasiswa untuk sekolah ke luar negeri. Nyaris semua formulir aplikasi beasiswa yang dapat didownload di internet saya isi dan submit.

Rupanya, tanpa sepengetahuan saya, Om Hengki pun mengendorse nama saya secara diam-diam ke beberapa fasilitator seleksi beasiswa. Mungkin karena endorsement OH—begitu kami menyapanya, maka saya menjadi salah satu penerima beasiswa International Fellowship Program Ford Foundation yang difasilitasi oleh Indonesian International Education Foundation (IIEF).

Saat itu saya memilih kuliah Political Communication di Universitas Indonesia, membatalkan rencana studi ke Hawaii. Saya mengerti saat itu OH kecewa, tetapi dia tetap menghargai keputusan saya. “Ente sudah dewasa, ente tahu lah apa yang terbaik buat ente… Saya dukung terus ente…,” tutur OH.

Selesai kuliah S2, 2007, lagi-lagi OH memprovokasi saya. Ketika itu saya bertanya kepadanya apakah mungkin saya yang tidak punya uang yang cukup untuk kampanye ini mengikuti kontestasi politik dengan menjadi calon DPD RI di Pemilu yang akan digelar dua tahun lagi.

“Ngana kan so belajar political communication… Kalau sampai ngana kalah di Pemilu, berarti ngana pe ilmu cetek..,” tukasnya sambil terbahak. Dan ini sambungannya, “…dan itu berarti ngana tidak pantas punya gelar master komunikasi politik!”. Lalu dia bilang lagi, “Saya kok yakin ya ngana bisa menang.”

Sejak itu saya begitu rajin berjalan dari desa ke desa, dengan sangat apa adanya, melakukan persuasi kepada masyarakat sesuai teori-teori komunikasi politik yang saya pelajari dari UI. Begitu pula ketika saya menggunakan media-media di Gorontalo untuk pencitraan personal. Dan ternyata, Om Hengki tidak membiarkan saya berusaha sendiri. Dia pun menjadi salah satu endorser yang sangat rajin untuk menjadikan Elnino M. Husein Mohi banyak dibicarakan oleh masyarakat Gorontalo. Di mailing list GorontaloMaju2020—yang punya member lebih dari 800 orang itu, misalnya, OH adalah salah satu “juru kampanye” untuk memenangkan saya.

Ketika kami memenangkan Pemilu 2009, saya berkata dengan gaya yang dibuat agak angkuh, “Berarti sekarang saya pantas punya gelar master komunikasi politik to, OH?” yang dijawabnya dengan cukup serius, “Iyo, Nin… Tapi jangan lupa faktor Tuhan yang punya kuasa.”

Lagi, menjelang Pemilu 2014, ketika saya memutuskan untuk berhenti dari jalur politik-independen di DPD RI, lalu masuk Partai Gerindra dan menjadi calon anggota DPR-RI, Om Hengki adalah salah satu dari sangat sedikit sahabat saya yang optimis saya menang.
Persaingan untuk meraih satu dari tiga kursi DPR RI yang diikuti oleh 36 tokoh-tokoh besar politik Gorontalo adalah suatu persaingan yang peluang untuk menang sangat kecil.

“Insyaallah Nino menang… Saya kok yakin ya kamu akan lolos dari lubang jarum,” ungkap Om Hengki. Dan, lagi, ini sambungannya, “tapi kalau tidak lolos, berarti kamu payah, berarti kamu banyak bikin kecewa orang Gorontalo selama di DPD RI.”


Bagi diri saya, dengan segala kekurangannya—entah apa, yang pasti ada kurangnya, karena dia juga manusia—Om Hengki adalah salah satu tokoh panutan. Dia bukan ‘orang kecil’, dia manusia besar yang memotivasi—untuk tidak menggunakan kata ‘memprovokasi’—sebagian orang untuk mewujudkan hal-hal yang menurut mayoritas orang adalah tidak mungkin; making the impossible possible.

Kesederhanaan Om Henk juga menjadi cermin bagi diri saya. Dia pernah membawahi ratusan doktor di kantornya. Dia adalah suami dari Mien R. Uno yang punya nama besar. Dia adalah ayah dari seorang doktor Indra Uno yang luar biasa dan ayah dari seorang Sandiaga Uno yang namanya menggetarkan dunia bisnis nasional. Tapi lihat… lihatlah seorang Razif Halik Uno. Penampilan dan gayanya seperti bukan siapa-siapa! Maka orang-orang biasa seperti saya dkk tidak pernah merasa sungkan untuk bicara apa pun dengannya; bahkan bercanda ‘ngeres’ sekali pun!

Perhatian Om Henk kepada kampung halamannya, Gorontalo, juga tidak kecil. Saya terkadang malu pada diri saya sendiri, ketika Om Hengki menanyakan hal-hal tentang Gorontalo yang saya tidak atau belum tahu sama sekali. Berbagai topik aktual tentang Gorontalo dia ikuti terus, mulai dari isu politik lokal hingga isu-isu sosial semacam narkoba, pergaulan bebas, dll. Dia tahu banyak tentang kampungnya sendiri, walaupun Om Henk hidup di Jakarta.

Di tahun 2005, saya berinisiatif mengajukan proposal kepada Sandiaga Uno, meminta bang Sandi menyediakan dana abadi untuk membina para sarjana baru di Gorontalo yang berpotensi menjadi pengusaha yang mandiri. Saya sampaikan ide ini kepada Om Hengki, berharap dia mau membantu saya meyakinkan bang Sandi. “Kalau yang begini-begini, ngana bicara langsung dengan Sandi. Itu kan dia pe uang, bukan kita pe doyi,” tukas OH yang kemudian mencarikan waktu agar saya sempat ketemu Sandiaga Uno.

Karena kesulitan mencari waktu khusus dari bang Sandi yang sangat sibuk, Om Hengki akhirnya dapat akal. Di suatu pesta pernikahan yang mengundang seluruh keluarga Om Hengki, dan dia telah mendapatkan konfirmasi bahwa Sandi Uno akan menghadiri pesta itu, OH menelpon saya untuk ikut hadir di pesta tersebut dan ketemu bang Sandi. “Saya sudah minta undangan buat kamu, Nin, supaya kamu gak puasa tiga hari gara-gara jadi tamu tak diundang…hahaha. Di pesta itu nanti, kamu hanya akan punya waktu 5 menit ngobrol dengan Sandi. Harap maklum ya,” kata OH.

Di pesta itu, saya dapat waktu ngobrol dengan Sandiaga Uno, dengan OH di samping saya. Benar-benar hanya 5 menit. Kata-kata saya langsung to the point, meluncur begitu saja, “Pak Sandi, Gorontalo punya dua krisis besar yang kira-kira mirip juga dengan daerah lain, yaitu krisis energi dan krisis SDM… saya ingin bang Sandi bantu Gorontalo di bidang…”.

Belum lanjut kalimat saya, Sandi Uno langsung menukas, “Baik, Nin… Banyak yang bisa atasi SDM, biar saya kontribusi bangun PLTU di Gorontalo… Energi itu sangat penting.”
Saya batalkan untuk bicara tentang penciptaan SDM yang handal di bidang ekonomi. Bang Sandi Uno sudah berjanji untuk bangun PLTU. Itu sudah cukup untuk akselerasi pembangunan Gorontalo di segala bidang.

Janji Sandi Uno benar-benar direalisasikan. Tahun 2009 PLTU Molotabu, di Gorontalo, mulai dirintis. Tahun 2010, saya berjumpa bang Sandi yang sedang kunjungan bisnis di Gorontalo. Saya tanyakan soal PLTU Molotabu, kapan kelar dan kapan operasinya.

Sandi Uno terkekeh kecil, “Kamu ini seperti bapak saya saja… Dari ketemu kamu di pesta itu, bapak saya hampir tiap hari menanyakan kapan itu PLTU jadi. Malah om kamu itu kadang menunggu waktu saya habis sholat Subuh hanya untuk tanyakan PLTU itu, hahaha. Insyaallah segera, bung Elnino.”

Dan benar, tahun 2013 PLTU Molotabu beroperasi dan bekerjasama dengan PLN Gorontalo untuk mengatasi kurangnya pasokan listrik.

Persistensi Om Hengky Uno menginspirasi saya dan kawan-kawan untuk tidak pernah berhenti berusaha sampai tujuan tercapai.

Pria tua itu telah mengubah mind-set banyak orang-orang muda Gorontalo, terutama kami yang tinggal di Asrama Mahasiswa Gorontalo—Salemba, yang sempat dididik secara informal oleh trio Hengky Uno—Ary Mochtar Pedju—Bakrie Arbi. Ketiganya sudah seperti orang tua kami sendiri.

Selamat, om Hengky yang berhasil mewarnai hidupnya hingga kini, berhasil menghidupkan banyak orang, dan berhasil dalam menjaga hubungannya dengan Tuhan.

Bagi saya dan kawan-kawan, you are the hero…

Tetaplah menjadi guru kami, tetaplah menjadi orang tua kami, tetaplah menjadi sahabat kami… dalam hal-hal yang serius, maupun dalam candaan-candaan yang tidak penting. Kami selalu berhutang ilmu dan budi baikmu.

Semoga Allah SWT senantiasa menjaga kesehatan, memanjangkan umur dan merawat senyum di wajahmu. Semangatmu akan abadi bersama kami dan bersama generasi setelah kami, dan bersama generasi setelah mereka… Aamiin…🙏🙏

Jakarta, 11 Maret 2015

Artikel dlm buku “UNO — Demi Generasi yang Lebih Baik.”

Start typing and press Enter to search