TADIYA LOLIPU

Dan jikalau tiada kehendak negeri, hanya semata kehendak kehendak Olongiya sendiri atau Huhuhu (Jogugu) atau kehendak Wuleya Lo Lipu atau kehendak istri-anak Olongiya atau kehendak orang-orang besar (elit), maka yang punya kehendak atau perbuatan itu luluh lantak menjadi laksana kapur dan hancur leburlah mereka bagai lemak kerbau yang dipersembahkan itu.” Demikian salah satu pasal dalam perjanjian Uduluwo Lo Ulimo Lo PohalaA yang dikumandangkan pada 12 Sa’ban 1084 Hijriah.

Ketika itu, seluruh elit Gorontalo dan Limboto di bawah pimpinan Eyato dan Popa mencetuskan persatuan antara kedua negeri, tepat di tengah Danau Limboto, di bawah sinar lentera-lentera (tohetutu), di malam yang syahdu. Itulah yang disebut sebagai Tadiya lo Lipu (Sumpah Negeri Gorontalo- Limboto). Umumnya pasal-pasal yang terkandung dalam sumpah tersebut berisi kutukan atas pelaku pelanggaran moral di atas tanah Gorontalo.

Sebagai catatan, pada saat sumpah itu diundangkan untuk negeri Limboto dan Gorontalo, dibuat suatu persembahan berupa lemak kerbau yang dicincang sampai halus. Sedangkan yang disebut dengan ‘batu kapur’ di situ adalah batu kapur yang telah dihancurkan sehingga menjadi debu-debu kapur (tilo).

Sumpah itu ditutup dengan kalimat, “Dan barang siapa mengubah perjanjian itu, negeri Limboto atau negeri Gorontalo, menjadi kafir na’uzubillahi minhaa finnaari jahannama dan negerinya binasa laksana laut (tenggelam—red) atau batu kapur atau menjadi seperti lemak kerbau yang dipersembahkan itu…. dst… Innallaaha tuhliful mii’aad…dst… Wallaahi, Billaahi, Tallaahi…!!!”

Boleh jadi ada yang menganggap sumpah ini tak lebih dari sebuah superstitious, mitos, takhayul. Namun sejarah kita sudah membuktikan betapa sumpah itu benar-benar memakan ‘korban’. Ada berapa bupati, walikota, kepala dinas, anggota dewan dan pembesar-pembesar lainnya di Gorontalo yang hidup wajar setelah dia menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi?
Orang-orang yang mengerti sejarah Gorontalo—setidaknya dalam 40 tahun terakhir—dapat dengan mudah mengidentifikasi mereka. Yang pasti, uang ‘panas’ yang mereka raup dengan cara yang tidak benar—korupsi dan kolusi—selama menjadi pejabat publik, itu habis tanpa mereka dapat menikmatinya sama sekali. Dalam masa jabatannya memang dia berkuasa dan mampu berbuat apa saja untuk kepentingannya meski dengan melecehkan kepentingan khalayak rakyat. Tetapi pasca itu, mulailah ia bergulat dengan kehidupan yang sangat berat; jiwa raganya tersiksa, ruhnya tak bahagia.

Di bawah sumpah sakti para leluhur Gorontalo yang mulia, maka korupsi di atas ranah ini ibarat seekor macan. Orang yang rakus dan korup berada di atas sebuah perkembangan kehidupan yang bisa jahat terhadap dirinya sendiri. Bagai menunggangi macan, jika turun ia bisa dikerkah dan dicakar si raja hutan. Sebaliknya bila ia terus, ia mungkin saja tak akan bisa mengendalikannya……sampai ia jatuh tersungkur……ke dalam jurang keterhinaan……

“Huta, huta lo ito eeya. Taluhu, taluhu lo ito eeya. Dupoto, dupoto lo ito eeya. Tulu, tulu lo ito eeya. Bo diila poluli hilawo, ito Eeyanggu…”

(Tanah, tanah milik tuanku. Air, air milik tuanku. Angin, angin milik tuanku. Api, api milik tuanku. Namun jangan biarkan nafsu mengendalikanmu, Tuanku…)

Start typing and press Enter to search