NEXT LEADERS RUN FAST

SETIAP bangsa setiap suku memiliki kenangan kejayaan di masa lalu. Setiap bangsa setiap suku memiliki cita luhur untuk membangun kembali kejayaan di masa depan. Toh, sejarah seringkali berulang, dan kejayaan itu pasti akan terbit lagi walaupun bakal tenggelam kembali.

Kita di Gorontalo, memiliki empat masa yang benderang. Alim S Niode (2002) menyebutnya sebagai “Zaman Keemasan”, yakni di masa kepemimpinan Ilahudu yang bergelar Matoloduladaa (abad 14), di masa kepresidenan Matolodulakiki (awal abad 16), di era Presiden Eyato (1673-1678) dan di zaman Presiden Botutihe (1716-1755).

Empat zaman itu yang dikenal dalam tuja’i-tuja’i sebagai ILOMATA WOPATO (Empat Karya Agung / Masterpiece). Mengapa empat zaman itu disebut sebagai Ilomata? Karena di zaman-zaman itulah terbangun suatu keadaan yang membahagiakan seluruh rakyat, secara bathiniyah maupun lahiriyah. Sekali lagi, bahagia batin-lahir.

Suatu kondisi ketika para pemimpin benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyatnya, suatu kondisi ketika mayoritas rakyat menyayangi para pemimpinnya (termasuk para pejabatnya), suatu kondisi ketika seluruh penduduk negara seakan-akan penghuni sebuah rumah yang saling menyayangi, suatu kondisi ketika senyum senantiasa menghiasi wajah setiap jiwa.

Seiring dengan datang dan berpengaruhunya Belanda menghancurkan nilai-nilai luhur dalam negara Uduluwo Lo Ulimo Lo Pohalaa, maka kemunduran batin-lahir mewarnai Gorontalo. Tertinggal dan miskin menjadi ciri Gorontalo, sebagaimana terjadi di nyaris setiap jengkal tanah di Indonesia.

Di masa Indonesia merdeka hingga hari ini, belum pernah terjadi kebangkitan batin-lahir yang sedemikian itu dahsyatnya. Sebab nilai-nilai luhur Gorontalo belum mencuat sebagai pedoman hidup seperti yang berlaku di zaman Ilomata Wopato. Bagaimana mungkin kemajuan batin-lahir muncul tanpa adanya nilai luhur?

Nilai luhur adalah nilai yang pasti benar. Benar secara universal. Di belahan dunia mana pun, walaupun istilahnya beda-beda, nilai luhur selalu merujuk pada penonjolan empat aspek.

Pertama, aspek kecerdasan. Di Gorontalo disebut dengan mo’ulindlapo. Kata itu bukan sekadar bermakna cerdas berfikir (motota), tetapi juga bermakna cekatan dalam bekerja (kalesangi / panita). Para leluhur kita menyadari fakta-fakta bahwa ada manusia yang cerdas berfikir (motota) tapi tidak ahli dalam bekerja, ada manusia yang bisa bekerja tapi tak menggunakan otak, dan ada manusia yang memiliki keduanya, ada juga yang tidak memiliki keduanya. (Baca buku “Moodelo”, karya pak Medi Botutihe, 2005).

Maka, untuk menciptakan suatu “masyarakat Ilomata”, syarat pertama adalah tumbuhnya talenta-talenta yang mo’ulindlapo (cerdas-cekatan) di seluruh lapisan masyarakat.

Kedua, aspek moral. Di Gorontalo dikenal dengan dudelo atau akhlak. Inilah syarat kedua untuk terciptanya “masyarakat Ilomata”. Perlukah lagi dijelaskan panjang lebar di sini soaldudelo ini? Rasanya tidak. Orang dewasa pasti paham apa itu akhlak. Intinya, dudelo mopiyo (akhlak baik) dimiliki orang yang senantiasa berbuat kebaikan.

Ketiga, aspek persaudaraan atau persatuan. Di Gorontalo banyak istilah untuk itu;motolongala’a, tinepo tombula’o, dll.

Keempat, aspek kebersamaan yang di Gorontalo terkandung dalam mo’awota, huyula, heluma, dulohupa, dll.

Keempat nilai tersebut yang menjadi pegangan hidup bagi setiap individu dalam “masyarakat Ilomata”. Dan karenanya, seluruh kata dan karya senantiasa diwarnai oleh kepuasan batiniah (seni yang tinggi, seni yang indah, tanpa kekasaran) dan lahiriah (ekonomi). Suatu keadaan yang orang Jawa menyebutnya gemah ripah loh jinawi.

Empat nilai luhur itu pula yang mengalami kerusakan ketika Belanda masuk ke Gorontalo. Bisa jadi perusakan nilai luhur itu karena pengaruh Belanda, bisa jadi pula karena pengaruh para elit yang menjadi serakah karena ingin tampil seperti Belanda.

Saudaraku, baru empat kali tercipta Ilomata di Gorontalo. Kapan tercipta Ilomata Kelima? Saya meyakini Ilomata Kelima itu akan tercipta kira-kira di tahun 2020 atau paling telat pada 2040, zaman yang dipimpin oleh mereka yang hari ini berumur di bawah 30 tahun. Saya menyebut mereka sebagai “Generasi Ilomata”, generasi dimana anak-anak saya termasuk di dalamnya.

Kita mesti berdiri dan berbusung dada untuk membangun Gorontalo kita dari puing-puing reruntuhan peradaban emas di era Ilomata Wopato silam. Ilomata yang kini menjadi harapan sekaligus dambaan setiap anak negeri mesti kita jemput dengan sepenuh hati. 

Funco Tanipu, The Generation of Ilomata – Gorontalo Post 2 Januari 2012

Begitu banyak sudut analisis yang meyakinkan saya bahwa masyarakat Ilomata akan muncul pada 10 hingga 30 tahun kedepan. (Terlalu panjang bila diurai di sini, pen). Suatu masyarakat yang pasti tercipta dengan atau tanpa kontribusi generasi kita—para seniornya. Sekali lagi, dengan atau tanpa bantuan kita, generasi super-tangguh itu bakal muncul.

Hanya satu pilihan bagi generasi kita ; bakoprol kepada anak-anak itu, yaitu dengan membantu mereka LEBIH SEGERA menjadi individu-individu yang berkualitas. Jika itu tidak kita lakukan, maka Generasi Ilomata akan mencatat generasi kita sebagai generasi yang hanya memberikan contoh buruk dan “pantas dihapus dari ingatan”.

Start typing and press Enter to search